Dia adalah cinta
pertamaku. Orang yang sangat aku sayang di dunia ini. Kenapa aku bilang begitu?
Karena aku keluar dari rahimnya dan dia berjuang mati – matian untuk itu. Dia
mengorbankan nyawanya hanya agar aku dapat melihat dan menikmati dunia.
Dia tak
perduli dengan keadaannya sendiri. Dalam sela nafasnya setelah mengeluarkanku
dari rahimnya, dia sempatkan untuk bertanya pada suster, ‘bagaimana keadaannya sus? sehat kan?’ dan setelah suster
mengatakan, ‘dia sehat, buk. Anak perempuan’ dihembuskan nafas lega dengan
ucapan syukur tak terhenti pada Sang Pencipta. Begitu kuat cinta yang
diberikannya. Begitu besar pengorbanannya. Tak terhingga rasa terima kasihku
untukmu, Ibu.
Aku hanya manusia
biasa. Seorang anak biasa. Yang selalu membuat kesalahan. Yang selalu membuat
marah orang tuanya. Aku bukan anak yang baik dan sempurna. Sifat keras ibuku
menurun padaku. Mungkin itu yang membuat hubunganku dan ibuku tak berjalan
mulus. Selalu ada perselisihan paham, dikarenakan keegoisan yang tak pernah
padam. Tapi kami sama – sama tahu kalau kami saling menyayangi. Hanya saja hal
itu tak dapat diutarakan dengan kata – kata.
Aku tahu aku bukan anak
baik. Aku tahu aku bukan anak yang sempurna. Aku tahu aku bukan anak yang
pandai. Aku tahu aku tak punya apapun untuk membuat orang tuaku bangga. tapi
mereka tak pernah mengeluh. Tak pernah meminta. Tak pernah tak inginkan aku.
Mereka selalu tersenyum padaku. Menguatkanku dalam kondisi dan situasi apapun.
Aku ingin jadi kekuatan bagi mereka. Melukis senyuman pada bibir mereka.
Menggambar keindahan kebahagiaan dalam hidup mereka.
20 tahun aku gunakan
waktuku secara sia – sia. Kenapa? Karena 20 tahun itu, aku belum membuat mereka
tersenyum, bangga dan bahagia. padahal itu waktu yang sangat lama. Sampai
sekarang, aku tak sanggup tuk melukiskan senyum simpul kesedihan, kegundahan
dan ketidakberdayaan untuk mereka. Aku tak sanggup melihat mereka berlinang air
mata. Sudah cukup air mata yang mereka keluarkan. Sudah cukup biaya yang mereka
berikan untukku. Kali ini, tujuan hidupku hanyalah untuk menggambar kebahagiaan
dan melukis senyuman pada bibir mereka.
Tapi, aku masih suka
manja. Aku suka saat – saat dimana ibu dan bapak memanjakanku. Membelai lembut
rambutku, memakaikan selimut saat aku tertidur, walaupun saat itu aku baru saja
membuat ibuku marah dan menangis. Tapi beliau tetap menyayangiku tulus adanya.
Bapak yang tiba – tiba membelikan mie ayam ataupun tahu campur kesukaanku saat
pulang kerja. Gak akan ada orang lain yang seperti itu. Mereka yang bisa
menerima aku apa adanya.
Pernah suatu ketika aku
melihat bapakku menangis, ketika dokter berkata, kalau aku mengalami
sakralisasi dextra sinistra ato dokter bilang pengerasan tulang ekor yang bisa
berakibat kelumpumpuhan. Kata – kata dokter itu mengguncangku. Sangat! Bukan
karena aku (mungkin) akan lumpuh dan stroke –jangan sampai hal itu terjadi-
tapi karena aku melihat bapakku menangis karena aku! Tapi aku berusaha tegar
didepan bapak. Aku tak mau bapak merasakan keguncangaku. Aku tersenyum pada
bapak dan berkata “Aku gak akan apa – apa, pak. Semua baik – baik saja. OK?
Jangan sedih ya. Nanti kalo bapak sedih, ibu juga akan sedih. Jangan bilang ibu
ya?”. Seketika bapakku menatapku sedih. Kemudian tersenyum sambil mengangguk
dan mengusap air matanya. Buatku cukup kali itu aku melihat bapak menangis. Aku
janji pada diriku sendiri gak akan membuat bapak menangis lagi.
Aku suka cara bapak dan
ibuku. Saling pengertian, saling perhatian, saling membantu, dan penuh kasih
sayang. Aku kagum dengan mereka dan bangga dengan cara mereka. Kadang mereka
mencuci baju bersama –sampai mantan pacarku pernah bilang, “aku iri liat
bapak-ibumu. Masih mau mencuci baju berdua. Kan biasanya yg nyuci baju ibu,
tapi bapakmu juga mau ngebantuin. Kliatan mesra banget” aku hanya tersenyum
bangga-, dan yang paling membuatku takjub, hampir tiap malam, mereka mengobrol
berdua. Setelah aku dan adikku tidur tentunya. Mereka menceritakan kejadian
hari ini. Semua yang mereka rasakan dan bersama mencari solusinya.
Seperti saat malam
hari, setelah dokter berkata begitu, aku tahu bapak punya alasan yang kuat
untuk mengatakan hal itu pada ibu. Dan ternyata memang benar. Bapak
membicarakan hal itu dengan ibu. Samar aku mendengar dari dalam kamarku, suara
isakkan ibu. Aku tak kuasa membendung air mataku sendiri. Rasanya aku telah
membuat orang tuaku sedih lagi. Aku mengutuk dokter Dina yang berbicara itu di
depan bapakku. Kalau saja tadi aku ke dokter sendirian, pasti bapak dan ibu gak
akan tahu masalah ini dan gak akan jadi sedih dan menangis.
Ibu yang kemudian masuk
ke kamarku –aku pura – pura tidur- membelai rambutku, dan mencium dahiku. Jujur
aku tak pernah secara sadar tahu ibu melakukan ini sejak kelas 2 SD. Lalu
seperti biasa, membenarkan letak selimutku dan berkata, “Maaf ya, Ibu masih
belum sanggup mengobatimu. Nanti kalau ibu ada uang, ibu pasti akan membawamu
terapi.” Setelah ibu keluar dari kamarku, aku tak bisa memaafkan diriku.
Rasanya tak mampu membendung haru kasih sayang itu. Sejak saat itu aku tak mau
melihat mereka sedih gara – gara sakit pada tulang ekorku ini. Biarlah aku yang
merasakannya sendiri.
Bulan demi bulan
berlalu sejak hari itu, dan tahun pun berganti. Sering juga bapak bertanya, apa
aku mash sering merasakan sakit? aku menggelengkan kepala seraya berkata “udah
gak. Tenang saja. Aku baik – baik saja.” Padahal sebenarnya, ya sakit sekali.
Tapi itulah aku. Yang selalu menyembunyikan keadaanku, hanya karena tak mau
melihat orang tuaku bingung dan sedih. Aku tak mau mereka hutang sana, hutang
sini untuk membiayai pengobatan lanjutanku. Karena aku tahu, bapakku akan
berani hutang pada bank ato siapapun untuk membiayai anak – anaknya.
Memang itu demi
kebaikanku, tapi aku tak ingin itu semua. Aku hanya ingin berada diantara
mereka selagi aku masih bisa bernafas dan berusaha untuk terus melihat senyum
mereka. Mungkin aku egois, tapi inilah keegoisan seorang anak yang tidak ingin
membuat orang tuanya khawatir. Aku ingin mereka menganggapku baik – baik saja.
Jujur, aku menyimpan sebuah masalah yang sangat besar. Dan aku mampu menutupi
hal itu sejak 2 tahun lalu. Setelah aku lulus SMA. Aku sudah curiga dengan
sakit kepala yang sering aku derita. Aku tahu ini tak wajar. Dan setelah
beberapa kali aku memeriksanya ke dokter, jawabannya mereka sama, “Ada semacam
tonjolan di dinding saluran darah pada otak anda. Dan bila dinding ini bocor,
maka akan sulit untuk mengobatinya. Hal ini harus intensif perawatannya.” Dan
ketika aku bertanya, apa nama penyakit saya, dok? Apa semacam tumor ato bahkan
kanker? Mereka malah bertanya balik tentang keberadaan orang tuaku. Aku
menjawanya berbohong dengan bilang, orang tua saya sudah meninggal –maaf
ibu,bapak- dan dengan mimik yang berat hati mereka menjawab, “bahasa dokternya,
ANEURISMA”.
Aku tahu sedikit
tentang hal itu. Itu adalah salah satu penyakit yang lebih gawat dari kanker.
Begitulah yang ditulis dalam sebuah blog di internet. Aku hanya harus menjaga
pikiranku agar tidak terlalu terbebani. Sebenarnya aku ingin berbagi tentang
hal ini, setidaknya pada seorang sahabatku. Tapi mulutku tak mampu berkata.
Padahal, aku sudah memulai pembukaan topik ini. Dia adalah seorang perawat
sebuah rumah sakit bersalin. Dan aku yakin, dia tahu lebih banyak tentag
penyakitku ini. Dia tahu kalau aku juga mengalami tanda – tanda penyakit ini.
Tapi entah kenapa aku tak sanggup cerita padanya. Aku tak ingin dia juga sedih.
Aku tak ingin dia menceritakan ini pada keluargaku. Oleh karena itu, aku
berbohong pada semua orang. Aku ingin mereka tersenyum walaupun untuk itu aku
harus menjadi pembohong besar. Tapi, diam – diam aku menyisihkan uangku untuk
berobat. Aku ingin waktuku cukup untuk membuat mereka tersenyum, walaupun harus
sakit.
Tak banyak pikiran
cukup membantu untuk mengurangi rasa sakit kepalaku. Tapi, inilah hidupku. Aku
harus tetap menjalaninya, walau kadang aku berpikir, lebih baik aku pergi saja
untuk selamanya. Tapi aku sadar, aku belum bisa melukis senyuman pada bibir
orang tuaku, menggambar keindahan kebahagiaan dalam hidup mereka, dan membuat
mereka bangga melihatku. Hanya kasih sayang mereka sebagai lilinku. Dalam
kegelapan ditemani cahaya lilin kasih sayang, aku mencari tombol keberanian
yang ada dalam diriku, dan ketika ku tekan tombol itu, aku akan jadi kuat.
Mereka orang tua yang
keras, disiplin dan penuh tanggung jawab. Tapi dibalik semua itu, mereka penuh
kasih sayang, perhatian dan cinta. Walaupun sulit untuk diungkapkan dengan
kata, namun mereka mengungkapkan dengan tindakan. Yah, aku sayang mereka. Dan aku
akan menyimpan semua rahasiaku sampai saatnya tiba. Aku akan membuat mereka
bangga dan tersenyum padaku. Itu adalah tujuan aku tetap berjuang untuk hidup.
Melihat orang yang sayangi tersenyum.Kukatakan pada diriku, SEMANGAT!! KAMU
PASTI BISA!! ^o^
Comments
Post a Comment