Sehari sebelum
kejadian, langit di surabaya sangat cerah, seakan turut bergembira dengan
sukacita yang sedang kami alami. Di halaman belakang rumah abang terdapat
sebuah pendopo dan malam itu kami duduk berdua sambil menatap langit.
“bang...aku boleh nanya
nggak?”
Abang mengangguk.
“apa arti diriku buat
abang?”
Abang menaikkan alis,
menatapku dengan pandangan penuh pertanyaan.
“iya, kan aku pengen
tahu aja. Seberapa pentingnya aku dalam kehidupan abang. Aku...aku takut kalau
seperti dulu lagi. Aku..takut kehilangan abang. Jadi, biar aku nati gak kayak
kak vira yang ditinggal kak jefri..apa arti diriku buat abang?”Jelasku lagi.
Setelah diam sejenak,
abang menatapku lekat – lekat.
“de’, dengerin abang
baik – baik ya. Bagi abang, kamu adalah bagian dari hidup abang. Karena kamu,
kehidupan abang jadi lebih berwarna. Abang jadi lebih sering ketawa. Maaf kalau
dulu abang pernah ngecewain kamu, bikin kamu trauma. Tapi, setelah itu, abang
jadi sadar betapa berharganya kamu buat abang. Abang bersyukur karena kamu
masih bisa bersama abang disini, nikmati malam ini. Lagian sepertinya hidup
abang akan membosankan kalau tanpa kamu. ” jelas abang serius.
“eh, tapi kenapa kamu
takutnya malah kayak si vira? Jefri kan ninggalin vira karena memag dah kehendak
tuhan, de’.”
“tapi kan itu terlalu
mendadak buat kak vira, bang.”
“ade’ sayang. Hidup dan
mati itu udah diatur tuhan. Apalagi cara meninggalnya. Nah, kebetulan aja saat
itu, jefri ninggalin vira dadakan karena brain
aneurism. Semua kejadian di dunia ini pasti ada hikmahnya. Buktinya vira,
masih bisa menjalani hidupnya. Memang butuh waktu lama, tapi percaya deh, semua
akan berakhir dengan baik.”
Aku mengangguk, tapi
aku tak tahu apa arti anggukanku itu. Aku masih takut kehilangannya. Kami
terdiam beberapa menit, tak ada topik untuk dibicarakan. Aku mencuri pandang
dengan sudut mataku, meyakinkan diriku untuk kesekian kalinya, is he the one? Sudahlah, kenapa harus
takit kehilangan. Semua telah diatur oleh-nya. Keputusanku semakin bulat, aku
hanya mencintainya seorang.
“waktu abang bilang,
abang lebih bisa mendengar aku pada saat aku lagi diam, itu sungguhan ya?”
Abang menatapku. Tiba –
tiba mimik mukanya berubah menjadi lebih serius, tetapi sorotan matanya tetap
membuatku teduh.
“itu abang lagi emosi.
De’, abang tidak memintamu untuk jadi orang lain. Abang hanya minta nanti kamu
kedepannya, harus lebih pintar menempatkan diri. Apalagi nanti ade’ kan jadi
istri abang. Jadi harus lebih bisa menjaga sikap. Yah..?”
Aku mengangguk. Namun
masih ada yang mengganjal di hatiku.
“bang! Aku kan slebor,
tulalit, berantakan. Abang sudah benar – benar yakin?”
“lho, kok jadi ade’
yang nggak yakin sama abang!”
“soalnya waktu
itu....,” kataku, lalu aku terdiam.
“kenapa?”
“aku takut abang malu
sama aku.”
“ade’ sayang!” Abang
menggamit kedua tanganku dan menatapku sebentar.
“kamu emang orang
paling aneh yang pernah abang temui. Ngomong terus. Sepertinya di kepala kamu
itu tidak pernah habis topik pembicaraan. Semua diomongin, semua
dikomentarin...”
Aku menatapnya dengan kerongkongan
sesak.
“tapi, de’! Abang kan
tadi udah bilang kalo kamu bikin hidup abang berwarna. Abang jadi lebih sering
tertawa. Nantinya mungkin tidak aka terlalu mudah bagi kita berdua. Tapi kita
akan menghadapinya bersama.”
Ah! Betapa melegakan.
Sepertinya, beban berat yang sedari berabad – abad lamanya berdiam di pundakku
terangkat dan rasanya begitu plong! Ah, aku nggak ingin waktu ini berakhir.
Kutatap sebuah pohon yang ada di hadapan kami. Pipiku pasti merah sekali.
“itu pohon apa, bang?” Tanyaku
sekonyong – konyong. Mataku baru saja beradu dengan sebuah pohon tepat di depan
pendopo.
“itu namanya pohon
matoa. Khas sentani.”
“buahnya bisa dimakan?”
“bisa! Rasanya enak.”
Abang berjalan
mendekati pohon itu, lalu memetik beberapa buahnya. Buah matoa berbentuk lebih
besar dari buah duku dan warnanya antara hijau bintik – bintik hitam sampai
merah tua. Disodorkannya buat itu padaku sambil berkata, “nih, cobain deh...”
“kok jelek sih buahnya?
Warnanya aneh. Nggak ada indah – indahnya.”
“yeee, jangan dilihat dari
luarnya donk! Rasain aja. Enak banget.”
Abang memencet buah
motoa itu sampai pecah dan di dalamnya masih ada kulit ari berwarna putih.
“nih, cobain!”
Aku membuka kulit
arinya dan terlihat daging buah berwarna putih kekuningan. Aku memakannya dan
uhm... Rasanya luar biasa. Kata abang, rasanya mirip dengan durian, tetapi
motoa lebih manis. Aku mengunyahnya dan...seperti ada unsur rasa kelengkeng.
Kata abang lagi, rasanya seperti duren dicampur kelengkeng. Karena aku tidak
suka duren, jadinya aku tidak tahu rasa duren itu gimana.
“enak! Lagi dong,
bang!”
“enak kan? Luarnya
jelek, bukan berarti nggak bagus isinya!”
“kayak aku yah, bang.”
“maksudnya?”
“iya! Dulu abang suka
bilang aku itu nggak ada bagus – bagusnya sama sekali. Padahal kan nggak
begitu!”
Abang tertawa sambil
menepuk punggung tanganku, memegang tanganku dan memainkannya.
“kayak abang juga
dong... Dulu ade’ pengen kabur aja karena lihat abang jelek, tahunya sekarang
maunya deketan terus....” Aku hanya nyengir mendengar kalimatnya.
“berarti, don’t judge the book by its cover ya,
bang!”
“yup! Tapi ka itu buku.
Kita ini manusia, tentunya beda sama buku. Manusia juga harus bagus cover-nya. Apa yang keluar dari mulut
dan terpancar dari penampilan, itu keluarnya dari hati.”
Bingung... Tapi ya sudahlah.
Aku masih terpukau dengan salah satu makhluk tuhan yang ada di depanku ini.
Dalam hati aku berjanji, akan menjadi istri, penolong yang baik bagi dirinya.
“bang, syaratku yang
aku ajuin tempo hari mau aku tagih!”
“hem?syarat apa?”
“abang harus mau dansa sama
aku.” Abang tersenyum.
“abang kan udah bilang,
abang nggak bisa dansa.Kalau nge-drum,
abang bisa ade’.”
“aku juga nggak bisa.
Tapi aku pengen dansa sama abang sekaliii aja. Mau ya?”
Abang menggeleng.
Siluet wajahnya begitu keras di kegelapan malam. Aku menariknya berdiri.
Bersikeras. “harus!”
Abang berdiri,
menyentuh tanganku dengan keras sambil menarik napas.
“abang nggak bisa.”
“sama!”
“ya udah nggak usah”
“usah!”
“haruskah?”
“iya!”
“kalau abang nggak
mau?”
“harus!”
“wah, gawat!” Nada bicaranya
menjadi jenaka.
“iya, gawat! Makanya
harus mau!”
“kapan?”
“sekarang.”
“sekarang? Di sini?
“habis mau dimana lagi?
Ya di sini, bang!”
“ah, dasar ade’ nggak
bisa cari tempat yang lebih bagus gitu. Masa dasa di halaman kayak gini. Mana
nggak ada musik lagi.”
“ya, nggak usah pakai
musik.”
“kan aneh...”
“udah! Nggak usah
banyak alesan.”
Abang terdiam seperti
sedang berpikir. Tiba – tiba, abang berdiri dihadapanku dan mengulurkan
tangannya. Sesaat benakku langsung kosong. Dengan terpana, aku memandangnya
tidak yakin. Tidak. Rasanya tidak mungkin dia melakukannya.
Abang menarik tanganku
dan tanpa bicara menarikku mendekat padanya. Tak sedetikpun aku melepaskan
pandanganku dari matanya. Kemudian, kulepaskan genggamannya dan kulingkarkan
kedua tangannya di pinggangku. Tanganku sendiri kugantungkan di lehernya.
Kulangkahkan kakiku ke depan, kemudian ke belakang, membuat iramaku sendiri.
Dengan kaku, abang mengikuti langkahku dan oh
my god, kami benar – benar sedang berdansa. Wajah kami berdekatan, saling
manatap dengan sejuta rasa. Ah, aku senang sekali malam ini. Apa ini sungguhan?
Jika iya, jangan biarkan waktu berlalu.
“abang udah betul
gerakannya, de’?”
Aku tersenyum. “aku
ingin menikmati malam ini, bang. Tolong jangan cerewet yah!”
Abang tertawa. Beberapa
detik kemudian memasang wajah serius.
“abang cinta kamu, de’.
Will you marry me?”
Wah, ini kata yang aku
tunggu – tunggu dari dulu. Aku senang sekali. Wajahku pasti sudah sangat merah
karena malu.
“ehm, mau nggak ya?” Celotehku
nakal.
“apa kamu masih.....”
“ehm....”
“ade’! Mau nggak?”
Kami masih berdansa.
Aku hanya terdiam. Menikmati mimik abang yang bertambah tegang. Bingung dengan
jawabanku. Aku mengangguk kecil.
“ade’! Jawab dong.”
Katanya lembut sambil menatap lurus kedua mataku. Kurasakan keteduhan setiap
kali memandang mata tajam itu. Aku tersenyum. Kupindahkan tanganku dari
lehernya ke pinggang abang. Kami masih berdansa, kudekatkan kepalaku pada
bahunya. Seraya berkata, “jawabannya besok ya. Jam 5, di tempat pertama kita
bertemu.”
Kulepaskan tangannya
dari pinggangku dan kutatap dalam matanya. Aku tersenyum sambil berjalan mundur
meninggalkan halaman belakang rumah abang masih dengan menatap matanya.
Kulambaikan tangan dan berbalik setelah memastikan abang mengangguk dan
tersenyum sambil berkata “iya! Dasar aneh.”
***
Hari ini adalah hari yang
penting bagiku. Semua orang yang penting dalam hidupku pun harus hadir dalam ceremony ini. Usiaku hanya 25 tahun,
tetapi begitu banyak hal yang terjadi dan semuanya membuatku berdecak kagum
pada tuhan. Begitu banyak pengalaman indah dan berharga yang tidak mungkin bisa
kulupakan. Entah berapa kali aku terjatuh, tetapi aku tak pernah tergeletak,
bahkan aku selalu diberikan kekuatan untuk bangkit dan bangkit lagi.
Kulihat abang berdiri
tegak. Dia begitu tampan dengan kemeja
hitam itu. Kulihat wajahnya begitu serius dan kaku. Mungkin dia tegang
menghadapi hari besar ini. Pipinya sedikit mengilat, apa mungkin ada air mata
yang menetes di pipinya? Apakah dia pernah menangis sebelumnya? Apakah ini air
mata pertamanya? Ah, aku ingin sekali memeluknya untuk mengatakan betapa aku mencintainya.
Kenangan itu terlihat
jelas dalam pandanganku. Kemarin, aku berada di tempat pertama kali aku bertemu
abang. Seperti saat pertama kali bertemu, abang menungguku menghampiri abang.
Saat mata kita saling pandang. Saat kicauan burung terdengar sangat merdu. Saat
aku berjalan menghampiri abang. Semakin dekat, namun tiba – tiba kepalaku
terasa sakit sekali. Mataku tak dapat melihat apapun. Semua terasa gelap.
Baiklah, sekarang sudah
waktunya dan aku harus menyiapkan diri. From
dust you are and to the dust you will be returned. Para kuli melemparkan
tanah padaku sedikit demi sedikit sampai aku tak bisa melihat mereka lagi.
***
Comments
Post a Comment