Kenangan,
merupakan salah satu kata yang sangat berarti. Untuk tetap ada dalam hati
ataupun ingatan seseorang. Tapi ketika ingatan seseorang itu pergi, akankah
kenangan juga akan pergi?
Disini kisahku
dimulai. Aku sedang berada diruang dokter dengan ibuku. Dokter bilang aku
terkena amnesia. Iya, penyakit hilang ingatan. Untuk sementara waktu aku tak
bisa mengingat apapun itu. Bahkan siapa diriku, aku tak tahu. Lebih menakutkan
dari pernyataan dokter bahwa aku terkena kanker.
1 bulan lalu
aku mengalami kecelakaan sepeda motor. Ketika itu hujan turun dengan deras.
Tiba-tiba tanpa alasan sepeda motor yang kukendarai jatuh dan kepalaku
terbentur trotoar. Tak ada darah yang mengalir saat itu. Beberapa orang yang
berada didekat tempat itu membawaku kerumah sakit dan menghubungi orang tuaku.
Seminggu aku dalam keadaan koma. Begitu cerita ibuku. Dan harikupun dimulai
dengan mencari tahu siapa diriku.
Sesampainya
dirumah, aku kembali mencari tahu. Begitu menakutkan hingga aku tak mau bertemu
dengan orang lain. Sebenarnya tak semua hal aku lupakan. Setiap kali aku keluar
dan melewati jalan tertentu, sekilas bayangan muncul. Seperti potongan sebuah
film, terlintas begitu saja dihadapanku. Tapi
aku masih menyimpannya sendiri, karena aku belum tahu siapa yang ada
dalam bayangan itu. Aku belum bertemu dengannya. Mungkin aku harus bertemu
dengannya untuk membuat ingatanku kembali.
***
25 September
2013.
Tak terasa 2
bulan berlalu, aku bahkan belum mengingat apapun. Semuanya mengalir begitu
saja. Aku membaca diary yang ada dikamarku. Dan dari diary itu aku menemukan
siapa teman-temanku dan bagaimana kehidupanku. Setidaknya disini tidak ada
cerita seperti potongan film yang selalu menjadi bayang-bayang dalam pikiranku.
Aku menjalani
hariku seperti biasa. Masih kikuk dan banyak belajar. Untung saja aku tak lupa
cara membaca. Hahaha. Aku adalah salah satu mahasiswi tingkat 3 di salah satu
universitas swasta. Pagi hari belajar dirumah dan malam hari aku kuliah.
Setidaknya aku belum bekerja, jadi tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan
bukan menjadi beban.
Pagi ini
adalah jadwal kunjunganku ke Dr. Heni. Dokter yang menangani penyakitku. Sudah
membuat janji terlebih dulu membuatku tak perlu ke poli untuk mendaftar lagi.
Aku langsung menuju ruangan Dr. Heni. Tapi kata suster yang menunggu di depan
ruangannya Dr. Heni masih rapat. Aku putuskan untuk duduk diruang tunggu ini.
Bersama beberapa orang juga yangs edang menunggu disini. Entah pasien Dr. Heni
atau dokter yang lainnya.
Aku duduk di
pojok ruangan. Membuka laptop dan mengerjakan tugas kuliahku menjadi pilihanku
saat ini. Konsentrasiku pecah ketika seorang laki-laki duduk disebelahku. Bukan
tepat disebalhku, tapi selisih satu kursi. Sepertinya aku pernah melihatnya.
Penasaran. Diam-diam aku memperhatikannya. Dari atas sampai bawah. Dan perlahan
bayangan seperti potongan film itu muncul. Membuat kepalaku menjadi pusing.
Kuputuskan untuk berhenti menatapnya diam-diam dan memilih memejamkan mata
sejenak. Berharap rasa pusing itu akan
hilang.
Tak berapa
lama, laki-laki itu menatapku. Samakin lama semakin tajam dan terus menatap.
Aku yang memejamkan mata perlahan membuka mata. Dan laki-laki itu masih
menatapku. Seperti berusaha untuk mengenali seseorang. Matanya seolah tak mau
lepas dari diriku. Kuputuskan untuk menutup laptop dan pindah tempat duduk
mungkin jalan yang terbaik. Tapi sebelum aku beranjak, laki-laki itu menyapaku?
Iya, dia menyapaku dengan senyuman yang sangat manis dengan kedua lesung
pipitnya.
“Hai, Gia?”
sapanya dengan nada yang agak ragu. Aku terdiam. Dia tahu namaku. Apa dia
mengenalku? Aku ingin bertanya, tapi kenapa suaraku tak mau keluar?
“Gia kan? Kamu
sekarang berhijab? Cocok buat kamu, semakin manis.” Aku hanya menanggapinya
dengan melihatnya.
“Btw, kamu
ngapain disini? Sakit?” aku hanya sedikit mengangguk untuk menjawab
pertanyaannya dan dengan wajah yang seolah bertanya ‘siapa kamu?’.
“Gi, kok diem
aja? Kenapa? Ini aku Guntur. Kamu lupa sama aku? Atau kamu masih marah?”
apalagi ini? Kenapa pusingnya semakin menjadi ketika aku mendengar namanya?
Namanya menggambarkan pusingnya kepalaku. Apa aku mengenalnya? Siapa dia?
Tiba-tiba mataku terasa nanar. Hatiku terasa sakit, seolah ingin menangis
dengan kuat.
“Gi? Kamu
kenapa? Ada yang sakit?”
Aku berdiri.
Beranjak pergi. Kebetulan aku melihat Dr. Heni dari ujung lorong. Aku bisa
menggunakan kesempatan ini untuk meninggalkannya dan berkonsultasi dengan Dr.
Heni. Belum sempat aku beranjak pergi, laki-laki ini menarik tanganku hingga
aku terduduk kembali. Dan sekarang dia persis berada disebelahku.
“Gia. Kamu
masih marah? Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Untuk semua sifat kekanakanku.
Untuk semua perilakuku. Untuk meninggalkan sakit di hatimu. Untuk waktu yang
telah berlalu. Setidaknya biarkan aku tahu kalau kamu memaafkanku. Aku minta
maaf, Gi.”
Air mataku
jatuh dengan sendirinya. Potongan film itu telah lengkap menjadi sebuah cerita.
Dan disana ada laki-laki ini. Guntur. Awal pertemuanku dengannya. Bagaimana dia
menyatakan perasaan cintanya. Bagaimana kami melalui hari indah kami,
bertengkar, tertawa, jahil, hingga bagaimana hubungan kami berakhir.
“Gia..”
perlahan tangannya menyentuh tanganku. Mungkin bisa memberkan sedikit
ketenangan untukku. Aku juga mengaharap uluran tangan itu. Tapi tubuhku
bersikap berbeda. Kutolak uluran tangan itu. Perlahan menghapus air mataku.
“Aku sudah
memafkanmu. Jauh sebelum hari ini. Pergilah. Dia menunggumu. Kamu kesini untuk
mengantarnya kan? Pergilah. Jangan buat dia menungggumu.”
Aku berjalan
pergi meninggalkannya. Memberi salam pada Dr. Heni dan mengikuti beliau masuk
lift. Dengan wajah bingung, Dr. Heni menatapku. Berharap mendapat jawaban
dariku tanpa harus bertanya. Aku hanya tersenyum membalas tatapannya. Sebelum
lift menutup sempurna, seseorang menghalanginya. Guntur.
“Kamu adalah
perempuan baik yang pernah aku temui. Kamu pantas dapatkan yang terbaik dalam
hidupmu. Terus melangkah dan jangan takut. Buka hatimu dan matamu, maka kamu
akan menemukan pintu kebahagiaanmu. Terima kasih untuk waktu yang telah berlalu.
Terima kasih, Gia.” Sama seperti pertama kali bertemu dulu. Senyum dan lesung
pipitnya membuat kenyamanan tersendiri dalam hatiku. Aku membalasnya dengan
anggukan dan senyuman.
Kesehatanku
mengalami peningkatan yang drastis. Ingatanku juga sudah pulih. Walaupun
beberapa masih ada bagian yang hilang. Setidaknya pertemuanku dengan Guntur
saat itu memicu ingatanku.
25 September
2009, kata-kata yang saat itu sangat kita percaya dan menjadi ‘penutup’
kesepakatan kita, “Satu perahu tak
mungkin ada 2 nahkoda.”
Indah senyumanmu takkan bisa pudar.
semakin indah di hatiku.
walau kusadai cinta yang tak mungkin jadi.
Comments
Post a Comment