Untukmu yang telah pergi


Terimakasih untuk yang telah sudi hadir menaruh rasa lalu meninggalkan rasa kecewa.  Aku tidak pernah lupa untuk tersenyum saat melihat dan mengingat kamu. Meski hanya diberi durasi sesingkat mungkin untuk melihatmu, tapi dapat menciptakan durasi panjang untuk mengenangnya. Bukan bermaksud untuk mengusik, hanya saja merindukan kekonyolan yang pernah singgah sekejap mata. Bukan bermaksud merindukan kekasih orang lain, hanya saja mengenang mahluk yang sudah berjasa dihidup ini. “Abai” yang pernah kau sodorkan untuk kedewasaanku, “pergi” yang kau bungkus untuk mematangkan sikap kanak-kanakku.

Aku tidak mendendam, dan tidak juga membenci, dan tidak juga ingin menghakimi. Aku hanya rindu merangkai kata menjadi kalimat yang kemudian melahirkan paragraf yang berbau tentang seseorang yang ketika dekat hanya mampu kutatap dan ketika jauh hanya mampu kukagumi. Sesungguhnya masih belum mengerti dengan proses yang sedang Tuhan sajikan untuk hidupku, skenario ini merebah banyak pertanyaan, dan dihiasi oleh banyak ajaran.

Kini, di tengah-tengah proses yang sedang kunikmati. Melahirkan keyakinan baru, memilih untuk membiarkan rasa ini tersimpan rapi pada tempatnya hingga kelak Tuhan hadirkan sesorang yang memang pantas menerimanya. 

Melihatmu, membuat aku mengerti, bahwa kita adalah sepasang doa yang belum Tuhan amini. Memutuskan untuk menikmati rasa sambil berbenah diri, membiarkan rasa ini untuk letih dengan sendirinya. Bukankah ada Tuhan yang lebih tahu sepanjang apa lelah yang bisa kupikul? Hanya perlu tetap tebarkan semangat baru, dan tetap memantaskan diri untuk yang lebih manis lagi. Selalu berserah, sebab suatu saat nanti ia pasti akan merangkul doaku.

Seperti pertemuan kita di hari itu. Entah kamu yang menemukanku atau aku yang menemukanmu. Atau takdir memang sengaja mempertemukan kita. Untuk saling membasuh luka, lalu menjadi alasan mengapa bahagia tercipta. 

Tidak ada yang kebetulan di bumi ini, tiap perkenalan, pertemuan pasti sudah diatur sedemikian rupa. Tuhan tidak pernah membuat takdir tanpa tujuan. Walaupun akhir kisah ini masih sangat rahasia, denganmu yang sampai saat ini masih dalam fase kekaguman. Yang kutahu hadirmu memperkencang degup jantungku, membuat punya seribu alasan untuk merindu. Di sini tugas ku sudah selesai, mendampingimu dengan kemaksimalanku telah kulakukan. Sekarang kutitipkan kau dengan dia yang menjadi alasanmu untuk mengusaikan kisah ini.

Mata manusia memang tidak diatur untuk bisa melihat bagaimana kehendak Tuhan bekerja, aku yang hanya bisa tahu apa yang memang bisa dipandang mata tanpa bisa mengetahui serta menebak hal apa yang Tuhan gambarkan dilangkah ku berikutnya. Aku yang dulunya membenci cerita ini, hingga sekarang bisa mensyukuri atas makna yang telah terasa dalam diri ini. Makna yang tak terlihat oleh siapa pun, namun boleh dirasakan olehku dengan sendirinya.

Walaupun pernah terluka tapi aku harus tetap mencoba. Walau aku merasa telah menghabiskan setengah waktuku untuk mewujudkan harapan tentang bahagia yang menurut pandangan orang sangat sederhana, tapi bagiku, sungguh merupakan ujian dari sang pencipta. 

Mungkin untuk saat ini, hidup sendiri lebih baik dari pada berjalan pada hubungan yang salah. Aku yang kini memilih diam, mengubur rasa ini dalam-dalam, bukan karena takut untuk bertindak dan berjuang. Tetapi menyadari pengabaianmu ini adalah cara Tuhan menegurku untuk menutup dan menyudahi cerita denganmu.

Meski dengan berat hati mengikhlaskan kisah ini hilang termakan luka, namun menguatkan komitmen 'yang menabur dengan air mata pasti pulang dalam bersuka'. Baru memahami, kepergianmu ini menyimpulkan bahwa akan ada dunia baru yang harus aku isi, yang tentunya itu bukan kamu. Selalu ada alasan di balik perpisahan. Selalu ada cerita suka di balik kata duka.

Sekelam dan sepahit apa pun kisah yang kulalui, selalu punya pilihan untuk bisa bangkit kembali, meski belum hari ini. Bersabar menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Bukan yang merasa lebih baik dari semuanya.

Aku yang kini menyediakan hati untuk selalu berbenah diri. Meski telah merasakan kepedihan, namun aku telah memaafkan dan mengiklaskan. Bukan karena tak menyakitkan, namun karena menyadari aku ini butuh ketenangan. Karena menyimpan dendam dihati sama saja halnya aku mengasah belati untuk di tusuk kejantung sendiri.

Aku tidak bisa memesan takdir seperti yang kumau. Dengan siapa kelak aku menghabiskan sisa usiaku, atau bagaimana kelak cara malaikat mencabut nyawaku. Entah di jalan yang sedang berlumpurkan dosa atau di tempat ibadah yang sedang meraih cinta-Nya. Tidak ada yang tau takdir itu bagaimana, tapi setidaknya aku tahu bagian akhir seperti apa. Bagian yang aku ciptakan. Tetap menjadi actor yang sebaik-baiknya agar naskahku menjadi salah satu bagian dari yang indah.

Terimakasih untuk yang sudah hadir menaruh rasa lalu meninggalkan rasa kecewa. Semoga aku adalah sekuat-kuatnya jiwa. Aku percaya, Tuhan tak akan biarkan aku bersama orang yang salah. 

“Di mana ada cinta yang tulus, di situ hati ini akan berlabuh.”


Comments