Untuk Ibuku



Seperempat abad sudah aku hidup. Aku masih anak kecil yang biasa kau dekap di dalam peluk hangat itu. Saat itu siangnya panas sekali, aku pergi. Dengan lantangnya di depan mu, aku bilang pasti ada satu yang bisa aku takhlukkan di dunia ini –sampai sekarang hal apa itu, aku masih belum tahu.
Yang aku tahu, bahwa aku masih tidak bisa mengalahkan diriku sendiri. Egoisku masih setinggi gunung, amarahku seperti danau toba, hampir tak pernah kutunjukkan rasa sayangku padamu. Tapi mimpiku, ketika sadar hidup itu keras, mimpi itu hanyut terbawa hujan.

Kadang, hidup sederhana seperti milikmu begitu memikatku, pagi menanak nasi untuk anak-anak, siang mengajak anak-anak tidur menggalau mimpi kecil, dan tiap malam mengalahkan rimba yang hampir membuat anak-anak sakit. Sebuah kisah walaupun seukuran album foto kecil, tapi itu lebih mahal, bahkan gajiku seumur hidup masih belum mampu membelinya.

Ada kalanya, saat aku salim mencium tanganmu yang kokoh, aku menemukan kekosongan yang selama ini lama aku tinggalkan. Membiarkan mu hanya seorang diri mengurus benteng tua, sebuah kamar yang hanya engkau pandang setiap senja menjelang. Menunggu kami tiba.

Saat kami pergi dan membelikan oleh-oleh. Kau bilang, bukan buah tangan ini yang membuatmu bangga. Tapi, atas aku-putri kecilnya yang sudah bisa duduk dan tahu jalan pulang–menuju tempat duduknya sekarang.

Tidak ada anak yang akan tersesat ketika ingin pulang pada Ibunya.


Terima kasih Ibu, sehat selalu ya.

Temani putrimu kecilmu ini menjalani hidupnya,hingga kau melihat cicitmu nanti.





Comments