Setumpuk cerita kita masih tersimpan di antara debur ombak dan pasir yang terbawa di dalamnya. Walaupun kata persahabatan lebih akrab di telinga kita saat ini, namun tetap saja pantai itu masih sama rasanya saat kau dan aku masih menjadi kita. Di pantai itu pula aku masih bisa menikmati nyanyian arus ombak yang bergulung saat aku ungkapkan isi hati ku pada mu.
Ketika kita masih lugu untuk bisa jujur satu sama lain. Tingkah mu yang lucu membuat aku teringat senyum itu. Bahkan sekedar menulis nama kita di atas pasir pantai pun membuat kita tau bahwa ada setangkai cinta yang mekar dalam jiwa.
Ketika langit biru berubah jingga dan bersiap untuk terbenam, kau pun mulai bersandar di bahu ku. Merebah kan diri seolah tak ingin hari ini berakhir. Indah rasanya. Mungkin saat itu kita masih punya mimpi yang sama untuk tidak saling pergi menninggalkan jejak kaki di atas pasir pantai ini.
Namun, waktu pun berubah. Nyanyian ombak tak semerdu yang kita dengar dulu. Debur ombak yang dulu bagai nada yang terangkai menjadi lagu. Kini berubah menjadi ketukan not sumbang yang tak bisa di nikmati sama sekali.
Buih dari gulungan ombak tak lagi jernih seperti kala itu. Saat itu pula aku sadar, bahwa nama yang tertulis di atas pasir dan langkah kaki kita yang pernah saling bersanding kini, telah terbawa arus lautan yang tiada henti untuk menyapa daratan.
Aku coba mengulanginya, namun nihil ku dapat. Sudah selesai langit berganti, sudah raib nyanyian manis arus ombak dan telah lepas pula kau dari genggaman ku. Entah karena karang yang tajam dibalik lautan yang tenang atau memang karena setangkai cinta kita tak tumbuh menjadi rumpun hingga layu dan rapuh terbawa angin.
Aku telah merelakan mu.
Biarkan lah saja mentari senja ini berlalu. Jingga nya ku ingat didalam kalbu. Ku petik rindu berdaun pilu lalu ku potong. Potong demi potong untuk bisa kita ingat bersama dalam memori, tentang aku, seorang yang pernah mengenalkanmu pada air mata yang kita benci dulu.
Comments
Post a Comment